*HARAPAN*
Gusman Azis
Setiap manusia pasti punya keinginan. Terkadang keinginan tiap orang itu dihardik oleh orang lain. Terkait dengan persoalan keinginan, itu persoalan hak tiap orang, keinginan itu berada dalam diri, sulit ditelaah dengan berbagai macam pendekatan, hanya bisa menduga-duga. Jika dikatakan keinginan, berarti itu ada kaitannya dengan harapan. Harapan tidak mempersoalkan dengan apa ia dibangkitkan, tapi yang terpenting harapan itu sampai. Harapan-harapan yang berusaha dibangkitkan ke permukaan itu hanyalah utopia, tidak bisa dipastikan terwujud. Apalah artinya jargon-jargon sebagai penyemangat jika tak diniat untuk hari esok. Jargon-jargon itu kita meletak sebuah harapan individu maupun kelompok untuk ke depannya yang masih abu-abu.
Harapan pasti mengandung unsur-unsur capaian. Dalam suatu lingkungan, harapan-harapan itu berusaha dibangkitkan agar bisa dinikmati, baik individu maupun kelompok. Jika berusaha dibangkitkan, pasti memerlukan tata dan cara. Misalnya harapan untuk memberi edukasi terhadap orang lain dengan menggunakan kecakapan berbahasa sebagai medianya. Terkadang ketika kita mengedukasi orang lain dengan menggunakan kekuatan berbahasa, itu kerap kali berpotensi menimbulkan efek merasa di atas rata-rata, dalam bahasa Mandar itu biasa disebut "borro".
Kata "borro" tersebut mewakili segala lakuan kita agar lebih mudah mengalir dengan apa yang kita sampaikan kepada orang lain. Kata "borro" jika diamati dari luar itu kadang tidak seperti yang ada dalam diri. Kelihatannya memang menabrak hal-hal yang sewajarnya, tapi dalam diri yang sulit diterka malah menyimpan sebuah misteri yang justru sangat wajar, karena dengan itu sangat mudah mentransfer hal-hal yang belum diketahui orang lain. Dan yang menerimanya pun juga gampang disimpan di ingatan. Kata "borro", itu seperti semacam motode.
Timbul pertanyaan, kenapa kita lebih memilih metode "merasa di atas rata-rata", atau dalam bahasa Mandar "borro" tersebut ketimbang hal lain untuk mengalihkan perhatian kepada yang diedukasi? Secara tidak langsung metode tersebut untuk capaian dan harapan yang kita sisipkan bisa lebih cepat mengait sisi minat yang diedukasi. Dengan kata lain kita mengalihkan isu agar yang kita sampaikan kedengarannya tidak lumrah, namun bisa memfokuskan.
Harapan-harapan yang dibahas sebelumnya, kadang bertolak dari perilaku dengan apa yang dilisankan. Terkait masalah apa yang kita ucapkan tidak sesuai dengan tingkah dan laku. Dari sini kita seharusnya menyadari bahwa kita sebagai manusia adalah makhluk sempurna di antara makhluk lain dan rendah dari sesama manusia. Dan akibat dari sandanan manusia dari makhluk lain, manusia menjadi berpotensi tidak lagi sempurna. Saya ingat betul apa yang dikatakan sastrawan Mandar bang Hendra Djafar "Saya menulis puisi bukan menggambarkan kesempurnaanku, dan ketika apa yang saya tulis tidak sesuai dengan perilaku saya, maka saya akan menjadikan tuntunan dari tulisan saya sendiri untuk memperbaikiku". Begitupun dengan kasus yang kita lakukan dalam sehari-hari.
Akan tiba masanya kita semakin jauh, jarak semakin memanjang membawa diri masing-masing.
Polewali Mandar, 7 November 2020
Keren
BalasHapus