Bahasa dan Sastra di Masa Pandemi
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Bahasa dan Sastra Bisa Apa?
Bahasa sangat erat kaitannya dengan sastra, sebagaimana yang dikatakan Irwan Syamsir alumni Universitas Mulawarman bahwa sastra tidak boleh berjarak dengan bahasa. Dengan kata lain sastra tidak boleh dijauhkan atau dipisahkan dari bahasa, seperti halnya dengan seorang laki-laki dan perempuan yang saling jatuh cinta jika dipisah secara paksa, maka keduanya akan merasa pesakitan. Lalu apa itu bahasa dan sastra, sejak kapan bahasa dan sastra itu ada? Pertanyaan ini mungkin sebagian orang menganggap sepele, tapi sebenarnya ini masalah serius karena itu menyangkut dengan asal muasal manusia. Von Schlegel mengatakan bahwa bahasa bisa lahir kapan dan di mana saja, ada bahasa yang lahir dari bunyi-bunyi alam, dari kognisi penggunanya dan lain sebagainya. Tapi dari mana pun asalnya, akal manusialah yang membuatnya sempurna. Sedang Descartes (abad 17) yang disempurnakan oleh Noam Chomsky (abad 20) bahwa manusia sejak lahir telah dilengkapi kemampuan berbahasa. Dengan kata lain, bahasa itu ada dalam diri manusia sejak ia dilahirkan, maka sastra pun juga ada sejak manusia ada di dunia ini. Sebagaimana pengertian sastra adalah suatu produk manusia yang dijadikan pedoman dalam berkehidupan yang diramu dengan bahasa sehingga menghasilkan nilai estetis.
Beberapa bulan ke belakang telah beredar beberapa bahasa yang asing di telinga kita. Maraknya bahasa hari ini yang kadang membingungkan beberapa kalangan masyarakat Indonesia, pun juga kita tahu bahwa mayoritas masyarakat Indonesia itu menengah ke bawah. Jadi otomatis bahasa-bahasa yang baru hari ini muncul yang dibawa makhluk yang super kecil ini yang bahkan tak kasat mata yaitu Virus Corona yang tak kunjung pulang ke habitatnya, itu kadang dan bahkan sangat membingungkan masyarakat kita. Misalnya kata "lockdown, dan sebagainya" itu masyarakat biasa ditanggapi bercanda dan bahkan sampai pada keambiguitasan atau kesalah pahaman makna. Bagaimana tidak, kata-kata tersebut meluap dan akhirnya banjir ke mana-mana tanpa pengantar terlebih dahulu. Bahasa yang telah disebutkan sebelumnya itu bahasa yang dibawa Virus Corona, bukan bahasa yang memang betul-betul lahir dari pengguna bahasa asli dari wilayah kita. Kenapa tidak kita menggunakan padanan dari beberapa kata yang berasal dari luar wilayah kita, penggunaan bahasa bukan semata hanya untuk hal keren, tapi yang terpenting bagaimana penutur dan pendengar bisa saling berkomunikasi dengan sangat paham. Hari ini ketika ada ketegangan atau masalah, itu selalu disorot dari berbagai hal candaan, akhirnya yang mengonsumsi hal itu tidak sampai pada betul-betul memahami keadaan yang terjadi, melainkan ditangkap hanya candaan meme semata. Penggunaan istilah tersebut sepatutnya dikurangi dan digantikan dengan diksi dan istilah yang lebih populer dan meng-Indonesia. Produsen teks media dan pemerintah Indonesia sebisa mungkin menggunakan bahasa yang bisa dipahami oleh masyarakat luas. Bukan hanya karena alasan identifikasi diri dan asosiasi identitas pembaca serta penerima pesan, terlebih dari itu, pesan harus bisa dipastikan sampai pada masyarakat lintas kalangan dan lintas kelas sosial.
Mengenai masalah Virus Corona yang kabarnya sangat berbahaya dan mematikan. Memang hal itu harus kita akui kalau sangatlah berbahaya dan mematikan, karena fakta di lapangan membuktikan. Bukankah kita telah merujuk ke keyakinan masing-masing bahwa sesungguhnya kematian itu telah pasti datang dan terjadi untuk kita semua dalam waktu yang tak pernah kita tahu? Maka sepatutnya kita menyadari hal itu. Banyak hal di dunia ini yang bisa kapan saja membuat diri kita mengalami yang namanya kematian, bukan hanya penyakit saja terutama Virus Corona tapi hal-hal kecil pun bisa membuat diri kita mengalami kematian, seperti penyebab kematian di dalam novel berjudul Rumah Kertas yang ditulis oleh Carlos María Domínguez asal Boenos Aires, Argentina. Dalam buku tersebut ada seorang prof sastra di Universitas Camridge, Inggris tewas ditabrak mobil saat sedang membaca buku, seekor anjing di Cile mati salah cerna gara-gara menggigit halaman-halaman novel Karamazov. Buku mengubah takdir hidup seseorang. Bukan hanya itu, hal-hal yang nyaris membuat seseorang mati karena memilih mengasingkan diri di tempat yang jauh dari keramaian, seperti misalnya tokoh Carlos Brauer dalam buku Rumah Kertas. Ia memilih tinggal dan menetap di bibir pantai dengan membangun sebuah gubuk yang bisa dibilang porselinnya rata-rata berbahan baku buku. Untuk membangun gubuk itu, Carlos harus menyewa beberapa tukang untuk menyusun buku demi buku yang dicampur dengan adonan semen untuk dijadikan dinding gubuk agar dapat bertahan dari korosi. Alhasil setelah semuanya selesai dibangun dan sudah layak huni dan beberapa tahun waktu telah ditempuh cukup dan sangat mengesankan karena tombok gubuk tersebut yang terbuat dari susunan buku dan campuran semen dapat bertahan dan belum terlihat tanda-tanda kerusakan pada tembok tersebut. Cukup mengesankan bukan?.
Sehubungan dengan bahasa dan sastra, maka bisa dikatakan bahwa hal itu sangat erat kaitannya dengan keluhuran yang letaknya dalam diri, dalam hati kita sebagai pengatur lakuan kita dalam keseharian. Jika dikatakan hati, berarti itu erat kaitannya dengan cinta. Pun juga kita tahu bahwa yang paling dekat dengan kehidupan kita adalah cinta. Cintalah yang mempunyai kekuatan besar dalam perubahan apa pun itu. Tiada hal yang bisa mendampingi keluhuran tersebut kecuali cinta. Di media sosial kita hari ini, semua hal disorot sangat jauh dari yang seharusnya. Kita hidup sepenuhnya dikungkung oleh perangkat pintar, bahwa kita tahu semua fitur yang dimiliki perangkat pintar sangat canggih. Dan semua hal tersebut pastilah menggunakan bahasa verbal sebagai media utama untuk saling memahami. Itulah kenapa ketika ada suatu hal kejadian itu kadang kita tak sepenuhnya merenungi. Sekarang di media itu bahasa dipengaruhi dari berbagai aspek kepentingan, seperti politik dan lain sebagainya. Keadaan hari ini sangat jauh berbeda dengan keadaan dulu. Dulu, orang-orang ketika ingin menyatukan gagasan untuk suatu perubahan yang besar seperti pemuda-pemuda dulu untuk bersatu dan bersumpah terhadap perubahan besar negara ini, itu mereka tidak menggunakan yang namanya perangkat pintar seperti sekarang ini, akan tetapi mereka meletak ketulusan di hati. Bayangkan saja, pemuda-pemuda itu berasal dari Sabang sampai Merauke, jarak waktu yang ditempuh untuk saling bertemu itu sangat jauh. Ketika mereka ingin bertemu pada suatu titik, mereka saling menghampiri tanpa keraguan sedikit pun untuk bersatu mengusung harapan besar dalam tiga ikrar. Dan ikrar tersebut ditutup dengan "Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia".
Sumber:
Domínguez, Carlos María. 2016. Rumah Kertas. Tangerang Selatan: CV. Marjin Kiri.
Chaer, Abdul. 2009. Psikolinguistik: Kajian Teoretik. Jakarta: PT Rinneka Cipta.
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Komentar
Posting Komentar